Tuesday, February 23, 2016

PEMIKIRAN AWAL TENTANG MAQASID AL SYARI’AH SEBELUM IMAM AL-JUWAYNI


OLEH :

ZAINAL ABIDIN BIN HAJI OTHMAN (IGA 140025)

 

 

1. PENDAHULUAN

Membahas tentang tujuan hukum Islam maka tidak boleh lepas dari teori dan konsep tentang Maqasid al-Syari’ah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya wahyu, dalam erti tujuan dan maksud dari adanya syariah (agama Islam) telah menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut, baik wahyu tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Maqasid al-Syari’ah bererti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat dilihat dalam ayat ayat Al~Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

 

Majoriti ulama telah mencapai kata sepakat bahwa Allah SWT tidak menetapkan hukum kecuali untuk kemaslahatan umat, iaitu menarik kemanfaatan, mencegah kerusakan, dan membersihkan dunia dari kejahatan atau dosa. Pengetahuan mengenai berbagai tujuan ketetapan hukum Allah (Maqasid al Syari’ah) akan dapat membantu memahami teks-teks keagamaan (al-nushush al-syar’iyyah) dan mengaplikasikannya dalam realiti. Jika ditinjau sejarah perkembangan tentang kajian maqasid al-syari’ah maka diketahui bahwa perhatian terhadap maqasid al syariah ini telah ada sejak masa Rasulullah SAW. Penelaahan terhadap maqasid al-syari'ah mulai mendapat perhatian yang intensif setelah Rasulullah SAW wafat, di saat para sahabat dihadapkan kepada berbagai persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Perubahan sosial yang dimaksud adalah segala perubahan pada majlis permesyuaratan kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai- nilai, sikap-sikap, pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Perubahan sosial seperti ini menuntut kreatifan para sahabat untuk memecahkan persoalan- persoalan baru yang muncul akibat perubahan sosial itu.

 

 

 

2  DEFINISI MAQASID AL- SYARI’AH:

Secara etimologis, terma maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata iaitu maqasid yang merupakan bentuk plural dari kata maqsad; masdar mimi, diambil dari  kata dasar qasada . Al-qasdu dan al-maqsad bermakna sama, iaitu; asal, tujuan sesuatu, jalan yang lurus (istiqomah), adil, tengah-tengah dan tidak berlebihan. Sementara kata al-syariah bererti; agama, manhaj, jalan, cara hidup. Sedangkan secara terminologis, maqasid mempunyai erti menghendaki sesuatu dan berpegangan teguh kepadanya (iradah al-syai wa al-azm alaihi). Dan kata syariah bererti apa-apa yang ditentukan Allah SWT kepada hamba-Nya melalui perantara nabi-Nya.

 

Sementara itu apabila kita membincang maqasid al-syari’ah sebagai salah satu disiplin ilmu tertentu, maka akan kita dapati pelbagai definisi yang berbeda satu sama lain, meskipun kesemuanya bermula dari titik tolak yang hampir sama. Satu yang harus diperhatikan mengenai pendefinisian terma maqasid ini, iaitu jarang sekali para ulama terdahulu yang memberikan definisi ilmu maqasid secara terang dan jelas yang mencakup semua unsur yang terkandung didalamnya. Tidak juga al-Ghazali[1], pun juga Imam al-Syathibi yang disepakati oleh semua kalangan sebagai polupor ilmu ini sama sekali tidak menyentuh mengenai definisi maqasid al-syari’ah. Untuk itu kebanyakan definisi maqashid al-sayari’ah yang kita dapati sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer, seperti Thahir bin Asyur  yang membagi maqasid menjadi dua bagian; ‘am dan khas. Untuk yang pertama ia  mengertikannya sebagai berikut “hikmah, dan rahsia serta tujuan diturunkannya syariat secara umum dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu (seperti sholat, puasa, dan sebagainya)[2]”. Sementara itu untuk yang kedua ia memaknainya sebagai “metod tertentu yang dikehendaki oleh syari’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia dalam beberapa bidang tertentu (seperti untuk mesejahterakan keturunan dan menjaga hati manusia dengan disyariatkannya nikah, menjaga mudharat yang berkelanjutan dengan diberikan pilihan untuk cerai, dsb)[3]”. ‘Allal al-Fasi salah satu ulama maqasid kontemporer memberikan definisinya sebagai berikut “tujuan dari syariat, dan rahsia-rahsia diberlakukannya syariat yang mencakup keseluruhan hasil hukumnya[4]”. Sementara itu Ahmad Raisuni memaknainya sebagai “ tujuan-tujuan diturunkannya syariat untuk merealisasikan kemaslahatan seorang hamba[5]

 

Menurut 'Allal Al-Fasiy, maqasid al syari’ah adalah : Tujuan yang dikehendaki syara' dan rahsia-rahsia yang ditetapkan oleh Syâri' (Allah) 8 pada setiap hukum. Adapun inti dari maqasid al syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’

 

Dalam kitabnya Maqasid Al-Syariah Al-Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqasid al syariah adalah makna-makna dan hikmah hikmah yang dicatatkan atau diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syari’at-Nya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syari’ah atau tujuan umumnya.

 

Pokok dari maqasid syari'ah adalah untuk mencapai kemaslahatan umat yang sebesar-besarnya, kerana tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan tujuan syara'.

 

Adapun tujuan syara' yang harus dipelihara itu adalah 1) menjaga agama, 2) menjaga jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga keturunan dan 5) menjaga harta2.

 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang mukallaf akan memperolehi kemashlahatan jika ia mempunyai kemampuan untuk menjaga lima prinsip di atas, dan sebaliknya ia akan mendapatkan kemudharatan atau mafsadah jika ia tidak menjaga lima hal tersebut.

 

Untuk mewujudkan kemashlahatan itu, menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi3 ada lima kriteria yang harus dipenuhi, iaitu: Pertama, mengutamkan tujuan-tujuan syara', Kedua, tidak bertentangan dengan Al- Qur'an, Ketiga, tidak bertentangan dengan Al-Sunnah, Keempat, tidak bertentangan dengan prinsip qiyas, karena qiyas merupakan salah satu cara

dalam menggali hukum yang tujuannya adalah untuk memberikan kemashlahatan bagi mukallaf. Dan Kelima, memperhatikan kemashlahatan lebih besar yang dapat dicapai.

 

 

 

 

3. SEJARAH PERKEMBANGAN MAQASID AL SYARI’AH

 

Maqasid al syariah sebagai sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya sudah ada sejak nash Al Qur’an diturunkan dan hadis disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Kerana maqasid al syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang dijelaskan dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariat-Nya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhluk-Nya.

 

Menurut Raisuni1, maqasid al syariah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum Al-Syatibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran kontemporer zaman ini. Kata al-maqasid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh Al-Turmudzi Al- Hakim, yang pertama kali menyuarakan maqasid al syariah melalui buku bukunya, Al-Shalat wa Maqashiduhu, Al-Hajj wa Asraruh, Al-‘Illah, ‘Ilal Al- Syari’ah, ‘Ilal Al-‘Ubudiyyah dan Al-Furuq. Setelah Al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333. H.) dengan karyanya Ma’khad Al-Syara’ disusul Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyi (w.365 H.) dengan bukunya Ushul Al-Fiqh dan Mahasin Al- Syari’ah. Setelah Al-Qaffal muncul Abu Bakar Al-Abhari (w.375 H.) dan Al- Baqillany (w. 403 H.) masing-masing dengan karyanya, diantaranya adalah : Mas’alah Al-Jawab wa Al-Dalail wa Al-‘Illah dan Al-Taqrib wa Al-Irsyad fi Tartib Thuruq Al-Ijtihad.

 

Selepas Al-Baqillani muncullah Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Razi, Al-Amidi, Ibnu Hajib, Al-Baidhawi, Al-Asnawi, Ibnu Subki, Ibnu Abd Al-Salam, Al-Qarafi, Al-Thufi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Al-Qayyim. Pada perkembangan selanjutnya penelaahan terhadap maqasid al syari’ah semakin mendapat perhatian di kalangan ulama usul. Imam Al- Haramain Al-Juwaini, Abu Al-Ma'ali Abd Al-Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ulama usul yang pertama kali meletakkan dasar kajian tentang maqasid al syari’ah ini. Imam Al-Juwaini mengatakan orang- orang yang tidak mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan perintah dan larangan-Nya, maka ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan istinbath hukum-hukum Syari'at. Pemikiran Imam Al-Juwaini ini selanjutnya dikembangkan oleh Al- Ghazali.  

 

Tapi jika ditinjau karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqasid al syariah, maka akan ditemui sebelum Al-Tirmidzi. Kerana Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kes penggunaan maqasid pada masa sahabat. Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populor Al-Risalah, dimana ia telah menyentuh pembahasan mengenai ta’lil al-ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqasid kulliyyah seperti hifzhu al-nafs dan hifzhu al-mal, yang merupakan tema-tema ilmu maqasid. Setelah Imam Syafi’i, muncul Al-Hakim Al-Tirmidzi, diikuti Abu Bakar Muhammad Al-Qaffal Al- Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu Al-Syariah, yang mencuba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah difahami dan diterima oleh manusia. Kemudian daripada itu, Al-Syaikh Al-Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu Al-Syarai’ wa Al-Ahkam, yang mengumpulkan riwayat riwayat tentang ta’lilu al-ahkam dari ulama-ulama Syi’ah, dan Al-‘Amiri (w.381H) dalam kitabnya Al-I’lam bi Manaqibi Al-Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dharuriyyat Al-Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu;(menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqasid al syariah.

 

Setelah itu datang Imam Al-Haramain (w. 478H) dalam kitabnya Al- Burhan yang menyentuh  tentang dharuriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqasid. Kemudian itu, Imam Al- Ghazali (w. 505 H) yang membahas beberapa metod untuk mengetahui maqasid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqasid al syari’ah.

 

 

4 PEMIKIRAN MAQASID SYARIAH PADA ZAMAN RASULULLAH SAW


Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi ini. Turunnya islam yang menyempurnakan syariat-syariat sebelumnya sudah barang tentu mengandung tujuan murni dan maksud mulia yang mengarah pada manusia itu sendiri sebagai mukalaf (ojbek yang dikenai kewajiban syariat). Berkaitan dengan itu, ia mengganggapkan adanya hikmah yang mengiringi turunnya syariat tersebut. Sebab sulit untuk dikatakan bahwa syari’, dalam hal ini Allah melakukan sesuatu tanpa sebab dan hikmah tersirat[6]. Dari sini dapat kita katakan bahwa munculnya maqasid al-syari’ah al-islamiah telah termasuk bersamaan dengan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Saw. Dan perkembangani maqasid al-syari’ah  ini terus berjalan beriringan dengan wahyu-wahyu yang turun pada zaman setelahnya. Hal ini dapat dilihat pada pertunjuk, anjuran maupun hasil hukum yang disyariatkan oleh al-Quran dan sunnah Nabi Saw, baik secara sedar maupun tidak, pasti mengandung semacam hikmah agung demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagai contoh, syara’memerintahkan manusia untuk tidak mencampuri isterinya dalam keadaan haid demi menjaga kesihatan kerana secara perubatan, darah haid banyak mengandung kuman yang berbahaya. Hikmah disyariatkannya nikah sebagai jalan untuk merealisasikan ketentraman manusia dan kesejahteraan keturunan, dan tujuan diperintahkannya berjihad fi sabilillah untuk menjaga keamanan masyarakat dan mempertahankan diri daripada gangguan asing.

 

Nabi Muhammad Saw, sebagai manifestasi tunggal wakil Allah dimuka bumi, secara bijak tidak pernah memberikan perintah atau anjuran kecuali dengan terlebih dahulu mempertimbangkan  psikologi umat dan suasana sosio budaya mereka. Kebijaksanaan Nabi Saw ini dapat kita temukan pada sabda Nabi seperti “Sesungguhnya agama ini mudah”, “Allah menghendaki kemudahan bagimu” “Kalaulah tidak mempersulit umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak sebelum sholat”, dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menunjukkan adanya pertimbangan kemaslahatan umum dalam menetapkan sebuah hukum. Kebijaksanaan Nabi Saw yang seperti ini, kemudian diteruskan oleh para sahabat dan generasi-generasi selepasnya. Karakteristik unik syariat islam dalam merumuskan rancang bangun hukum dengan disertai pertimbangan kemaslahatan umum, sebab turunnya wahyu (tadarruj nuzuli), konsep mencari kemaslahatan dan mencegah kemudharatan (jalb al-masalih wa sad ad-dzarai’) perlahan mulai dikembangakan oleh para ulama menjadi suatu konsepsi utuh yang pelan-pelan menjelma menjadi sebuah teori maqasid al-syariah.

 

5.  PEMIKIRAN MAQASIQ AL SYARI’AH DI ZAMAN SAHABAT.

Sudah barang tentu perjalanan maqasid al-syari’ah menjadi suatu disiplin ilmu yang terpisah secara sendiri tidaklah terjadi walaupun seketika. Tercatat mulai generasi sahabat, perhatian akan maksud dan tujuan dari syariat mulai dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman ketika mereka hidup. Kerana syariat adalah sesuatu yang hidup (kain hayy) yang boleh menyesuaikan diri dimana peradaban itu berkembang. Tuntutan untuk mengembangkan syariat tanpa melepaskan diri dari tujuan utama ‘memaksa’ mereka untuk melakukan berbagai inovasi kreatif dalam merumuskan pembangunan suatu hasil hukum. Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah pertama untuk menjaga persatuan dan keutuhan umat, pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf di masa Ustman, ditiadakannya hukuman potong tangan oleh Umar dimasa kemeseletan ekonomi, adalah beberapa contoh bentuk pemakaian jitu para sahabat dalam mengembangkan syariat, dengan mengembangkannya sesuai masa dimana mereka hidup, dengan tanpa mengabaikan hikmah luhur turunnya syariat itu sendiri.

Para sahabat merupakan manusia yang paling memahami tentang maqasid syariah, matlamat agama, objektif al-Quran dan al-Sunnah, kerana mereka mendengar al-Quran secara langsung daripada Rasulullah r dan mengamalkan ajaran Islam berdasarkan petunjuk Rasulullah s.a.w. Apabila mereka menghadapi sesuatu persoalan setelah kematian Rasulullah s.a.w, mereka akan mencari hukumnya di dalam al-Quran. Apabila didapati, mereka terus melaksanakannya. Jika tiada mereka akan mencari dalam sunnah Rasulullah s.a.w, mereka akan bertanya-tanya siapakah yang menghafaz sebarang hadith atau hukum daripada Rasulullah s.a.w berkaitan persoalan ini. Jika didapati, mereka akan berpegang kepada hukum tersebut. Jika tiada, mereka akan berijtihad berpandukan kepada al-Kitab serta al-Sunnah dan pemahaman mereka terhadap kaedah-kaedah umum, rahsia dan matlamat syariat yang mereka fahami daripada keduanya.

Sebagai contoh, para sahabat telah bersepakat untuk membuat salinan rasmi al-Quran bagi menjaga agama, mereka juga bersepakat untuk menghukum qisas sekumpulan pembunuh yang membunuh seseorang yang tidak berdosa. Umar al-Faruq r.a. telah menghukum Nasr bin Hajjaj dengan membuang daerah kerana ketampanan beliau ke Iraq sehingga mempesonakan wanita-wanita di Madinah bagi menjaga keturunan dan maruah. Selain itu, Umar r.a. telah menyekat pemberian zakat terhadap golongan muallaf.[13] Umar t berkata:

إن الله أعز الإسلام وليس اليوم مؤلفة

“Sesungguhnya Allah telah memuliakan umat Islam, dan pada hari ini, tiada lagi golongan muallaf.” [14]

Sa`id bin Musaiyyib rhm.a. mengharuskan kawalan harga dilakukan jika ia mendatangkan kebaikan kepada masyarakat Islam. Walaupun terdapat riwayat yang menyatakan Sahabat r.a. telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w: “Ya Rasulullah, harga barang telah naik, maka tetapkanlah harga bagi kami.” Sabda Rasulullah s.a.w, “Allahlah yang menetapkan rezeki, yang menyekat dan meluaskan rezeki. Sesungguhnya aku berharap untuk berjumpa dengan Allah Taala tanpa menzalimi seseorang terhadap darah dan hartanya.” [15]

Daripada contoh-contoh yang telah diberikan, menunjukkan bahawa maqasid syariah adalah suatu perkara yang sangat penting yang perlu diberi perhatian. Para Salaf al-Soleh memberikan contoh yang terbaik dalam aspek memahami maqasid syariah dan pelaksanaannya.


6. PEMIKIRAN MAQASID AL SYARAIH DI ZAMAN TABI’IN:

 

Sejalan seirama dengan para sahabat, tabi’in sebagai generasi penerus tradisi sahabat juga memasukkan unsur maqasid al-syariah sebagai salah satu pertimbangan keputusan hukum. Di masa tabi’in dikenal adanya dua madrasah yang berkembang pesat; Hijaz dengan madrasah syariahnya, dan madrasah Iraq dengan madzhab ra’yunya. Pada madrasah Hijaz, meskipun kecenderungan tekstual lebih mendominasi, akan tetapi aplikasi penggunaan maqasid al-syariah tidak dapat diabaikan begitu saja. Pengaruh besar ijtihad para sahabat seperti Umar bin Khattab, Abu Hurairah dan pandangan peribadi Siti ‘Aisyah yang melandaskan pandangannya kepada asas masalih al-mursalah, jalb al-masalih, dar’ al-mafasid,  ikut terserap dan turut mewarnai alur berpikir para mujtahid generasi sesudahnya[7]. Sementara untuk madrasah Iraq, meskipun terkenal dengan madzhab ra’yunya akan tetapi ini tidak bererti mengenepikan teks-teks keagamaan begitu saja. Penggunaan ra’yu (akal/ijtihad) tetaplah harus berlandaskan pada asas sahih dan pendapat para salaf al-salih serta mengutamakan kemaslahatan dan urf  hasanah (tradisi yang baik). Sementara madrasah Hijaz banyak menggunakan ijtihad Umar dan Siti Aisyah maka madrasah Iraq lebih banyak memakai ijtihad Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud[8], dan Ibrahim an-Nakha’i[9] yang lebih mempertimbangkan akal dan kemaslahatan bersama ketika menemukan masalah yang tidak disinggung oleh teks.

 

Setelah era tabi’in, satu persatu ulama dan cendekiawan mulai mengupas lebih dalam pelbagai sisi lain dari konsep ini. Setelah pada zaman sebelumnya terma maqasid al-syari’ah hanya dapat dikenali dari kecenderungan-kecenderungan rumusan konsep penggalian hukum, maka pada fasa ini para ulama mulai memberikan ruang khusus bagi maqasid al-syariah untuk menunjukkan keperluannya. Tercatat at-Turmudzi al-Hakim (abad 3 H) adalah orang yang pertama kali menggunakan kata maqasid dalam kitabnya al-Sholah wa maqashiduha yang menguraikan tentang tujuan dan hikmah dari ibadah sholat. Kemudian diikuti oleh karya-karya lainnya yang masih membahas seputar hikmah-hikmah tertentu dari bermacam-macam ibadah, seperti al-Hajj wa asraruhu, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan al-Furuq. Setelah al-Turmudzi, Abu Mansur al-Maturidy (w. 333 H) dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ diikuti  Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H) dengan Usul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah, Abu Bakar al-Abhari (w.375 H) dan al-Baqilany (w. 403 H) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Se;lepas, al-Baqillany muncullah Imam Haramain al-Juwaeny (w.478 H) dengan al-Burhan, al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq,

7. SYARAT   PEMAHAMAN  MAQASID AL SYARIAT DI ZAMAN PEMIKIRAN AWAL :

Sekurang-kurangnya ada tiga syarat yang diperlukan untuk memahami Maqasid al-Syari’ah. Syarat-syarat itu adalah:

  1. Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab

Menurut istilah Ulama Usul fiqh, bahasa Arab itu kepada lafaz am dan lafaz khas. Lafaz ‘am adalah “Suatu lafaz yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada suatu makna yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas pada satu jumlah tertentu”.22 Lafaz Insan umpamanya, mencakup semua yang namanya manusia.

Dilihat dari segi penerapan lafaz ‘am, ulama Usul Fiqh membaginya kepada tiga tingkatan, iaitu:

Lafalz ‘am yang dikehendaki darinya adalah ‘am.23 Ertinya, lafazz ‘am dan maksudnya juga ‘am. Lafalz ‘am dalam bentuk ini tidak didapatkan indikasi untuk memberlakukan takshis padanya.

Lafalz ‘am yang mengandung pernyataan Umum tetapi yang di kehendaki darinya adalah Khusus.24 ‘am dalam bentuk ini terdapat indikasi yang memalingkan erti ‘amnya.

Lafaz ‘am yang mutlak, ertinya tidak diperdapatkan tanda-tanda untuk dikehendaki kepada umum ataupun kepada khusus.25

Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa dilalah lafaz ‘am kepada satuan-satuannya adalah Zanni.26 Menurutnya dalam lafaz itu mencakup semua satuan-satuan yang tidak jelas sasarannya. Satuan mana yang dikehendaki oleh Nash tidak dapat diketahui sebelum ada indikasi dari Nash lain. Ayat-ayat Alqur’an dan sunnah yang bentuk ‘am, dilalahnya adalah Zanni. Atas dasar inilah Imam al- Syafi’i membolehkan takshis ‘am Alqur’an dengan hadist Ahad.27alasannya ‘am Alqur’an dilalahnya Zanni, sama dengan dilalah hadist ahad. Dilihat dari segi dilalah, antara ‘am Alqur’an dan hadist ahad adalah sejajar.28

Menurut Imam al-Syafi’i, seperti diungkapkan oleh oleh Zaqiyuddin Sya’ban, bahwa satuan yang tinggal setelah di taksis dilalahnya tetap zanni. Demikian juga terhadap ‘am yang tidak menerima taksis, dilalah satuan-satuanya tetap zanni. Dengan demikian Imam Syafi’i membolehkan takshis Alqur’an dengan Alqur’an, hadis dengan Hadist, dan bahkan ‘am Alqur’an boleh ditakshiskan dengan Hadis ahad.29

Apabila terjadi pertentangan antara makna khas dan ‘am, seperti Nash ‘am menetapkan hukum haram sesuatu dan Nash khas menetapkan tidak haram hukumnya, menurut Imam al-Syafi’i bila terjadi seperti itu harus diamalkan sesuai dengan ketentuan masing-masing, sebab Nash ‘am dilalahnya Zanni, sedangkan Nash khas dilalahnya qat’i, keduanya tidak boleh dipertentangkan . maka Nash ‘am yang zanni belum boleh diamalkan sebelum dikaji Nash khas yang qat’i. dan yang kedua itulah pada akhirnya yang diamalkan. Kecuali kalau ‘am itu tidak ada pentakshisnya, maka saat itu diperlukan penalaran.30

Masih banyak lagi istilah-istilah khusus selain lafalz ‘am yang berkaitan dengan pembahasan lafalz dan dilalah lafalz yang harus diketahui Oleh seorang yang ingin memahami Maslahah (Maqasid al- Syari’ah) yang terdapat dalam Alqur’an dan hadis, diantaranya lafaz Khas, Musytarak, Haqiqat, Majaz, Dilalah lafalz, dan Nasakh.

2. Memiliki pengetahuan tentang Sunnah

Imam al-Syafi’i menempatkan Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua dalam menggali maksud tuhan yang terkandung dalam Alqur’an, penempatan hadis sebagai sumber hukum yang kedua setelah Alqur’an disebut juga sebagai Kerangka berfikir Imam al-Syafi’I, hal ini diungkapkan dalam kitab Al-Risalah:

وجهة العلم الخبر في الكتاب او السنة او الاجماع او القياس

Artinya: “Dan jalan mendapatkan Ilmu adalah pernyataan dalam kitab (Alqur’an), atau sunnah atau Ijma’ atau Qiyas”.31

Selanjutnya al-Syafi’i mengatakan apapun hukum yang terdapat dalam hadis itu wajib diikuti, sama halnya dengan Alqur’an, sebagaimana pernyataan beliau:

و من قبل عن رسول الله فمن الله قبل لما افترض الله من طاعته

Artinya: “siapa saja menerima ketentuan hokum dari Rulullah, bererti pada hakikatnya dia menerima dari Allah, karena Allah mewajibkan untuk menta’ati Rasulullah.”32

Sejalan dengan pandangan nya tentang kokohnya kedudukan sunnah, al-Syafi’i menegaskan bahwa bila telah ada hadis yang sahih dari rRasulullah Saw, maka dalil-dalil berupa perkataan orang lain tidak di perlukan lagi.33 Jadi, bila seseorang telah menemukan hadis sahih, tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan mengikuti. Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh sunnah harus diterima apa adanya, dan tidak boleh di persoalkan lagi, al-Syafi’i menegaskan, mempertanyakan mengapa dan bagaimana terhadap sunnah adalah sesuatu yang keliru.34 Hal ini dikemukakannya dengan alasan rasional. Jika hukum yang ditetapkan oleh sunnah masih dipertanyakan, dengan penggunaan qiyas dan rasio, maka tidak akan pernah ada kata putus yang dapat dijadikan sebagai patokan, dan ini akan meruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum.35

Sikap ta’at dan kerendahan hati al-Syafi’i terhadap hadis dilihat dalam ungkapannya:

اذا وجدتم كتابي خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة رسول الله ودعوا قولي

Ertinya: Bila kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi dengan Sunnah Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah rasulullah dan tinggalkan perkataan saya”.

Walaupun sunnah sebagai sumber hukum kedua, tetapi kenyataannya sunnah menempati kedudukan yang sangat penting dalam memahami Maqasid al- Syari’ah, karena sebagian isi Alqur’an yang belum jelas harus dijelaskan dan ditafsirkan oleh Sunnah. Pada generasi sebelum imam al-Syafi’i, kecendrungan mendasarkan setiap keputusan kepada sunnah telah melahirkan banyak hadis, tetapi ketentuan yang terdapat antara suatu hadis dengan hadis yang lain sering ditemukan saling bertentangan. Kemudian Imum al-Syafi’i tampil dengan merumuskan suatu kaedah baru untuk menyelesaikan dua hadis yang saling bertentangan. Jalan yang ditempuhnya, pertama diusahakan dengan cara mengkompromikan keduanya, sebab boleh jadi satu hadts mengandung aturan khusus dan hadis yang lain memuat aturan umum. Jika penggabungan tidak mungkin dilakukan, akan dilihat sanad dan perawinya. Sunnah yang dipandang lebih kuat sanad atau perawinya lebih didahulukan dan diutamakan.36 Akan tetapi jika sunnah tersebut sama kedudukannya, dilihat mana yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sunnah yang datang terdahulu di Nasakhkan oleh sunnah yang datang kemudian.37 Jika keduanya tidak ada tanda-tanda mana yang terdahulu mana yang terakhir, maka harus diutamakan sunnah yang lebih menepati dan sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah yang ada pada masalah yang lain.38

Dengan demikian Ilmu tentang Sunnah baik teksnya maupun Asbab al-Wurudnya wajib diketahui bagi orang- yang ingin memahamu Maqasid al-Syari’ah. Kerana Sunnah disamping sebagai Sumber hukum Islam yang kedua juga boleh berfungsi memperkukuh dan memperjelas ketentuan hukum yang ditetapkan Alqur’an, dan menetapkan hukum yang tidak di tetapkan dalam Alqur’an.

3. Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat.

Majorati ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terkandung dalam riwayat – riwayat asbab al-Nuzul merupakan satu hal yang siknifikan untuk memahami pertumjuk Al-qur’an,

 

Menurut al-Syafi’i, pertunjuk ayat ini tidak bersifat umum (Hasar) untuk mengatasi kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas, al-Syfi’i menggunakan as-bab al-Nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan sendiri. Mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan- Nya merupakan kebiasaan orang-orang kafir, terutama orang-orang yahudi, maka turunlah ayat.


 

 

 

 

8. PENUTUP:

Pemikiran awal maqasid al syari’ah telah bermula sejak awal penurunan wahyu, kemudian telah berkembang ke generasi sahabat dan seterusnya kepada generasi tabi’im. Sehingga hari ini ianya diguna-pakai secara meluas oleh ulama komterpori. Ianya semakin dengan suasana semasa yang ijtihad yang baru dalam isu-isu semasa hari. Dengan inovasi dan kreativiti ulama yang hebat telah menjadikan maqasid al syari’ah semakin tidak boleh diabaikan begitu saja.



 
 
 

No comments:

Post a Comment