OLEH
:
ZAINAL
ABIDIN BIN HAJI OTHMAN (IGA 140025)
1.
PENDAHULUAN
Membahas
tentang tujuan hukum Islam maka tidak boleh lepas dari teori dan konsep tentang
Maqasid al-Syari’ah dalam Islam. Teori ini telah berkembang sejak awal turunnya
wahyu, dalam erti tujuan dan maksud dari adanya syariah (agama Islam) telah
menyatu dengan berbagai aturan yang ada di dalam wahyu tersebut, baik wahyu
tersebut dalam bentuk Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Maqasid al-Syari’ah bererti
tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat
dilihat dalam ayat ayat Al~Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis
bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Majoriti
ulama telah mencapai kata sepakat bahwa Allah SWT tidak menetapkan hukum
kecuali untuk kemaslahatan umat, iaitu menarik kemanfaatan, mencegah kerusakan,
dan membersihkan dunia dari kejahatan atau dosa. Pengetahuan mengenai berbagai
tujuan ketetapan hukum Allah (Maqasid al Syari’ah) akan dapat membantu memahami
teks-teks keagamaan (al-nushush al-syar’iyyah) dan mengaplikasikannya dalam
realiti. Jika ditinjau sejarah perkembangan tentang kajian maqasid al-syari’ah
maka diketahui bahwa perhatian terhadap maqasid al syariah ini telah ada sejak
masa Rasulullah SAW. Penelaahan terhadap maqasid al-syari'ah mulai mendapat
perhatian yang intensif setelah Rasulullah SAW wafat, di saat para sahabat dihadapkan
kepada berbagai persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi
pada masa Rasulullah SAW masih hidup. Perubahan sosial yang dimaksud adalah
segala perubahan pada majlis permesyuaratan kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-
nilai, sikap-sikap, pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok di dalam
masyarakat. Perubahan sosial seperti ini menuntut kreatifan para sahabat untuk
memecahkan persoalan- persoalan baru yang muncul akibat perubahan sosial itu.
2 DEFINISI MAQASID AL- SYARI’AH:
Secara
etimologis, terma maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata iaitu maqasid
yang merupakan bentuk plural dari kata maqsad; masdar mimi, diambil
dari kata dasar qasada . Al-qasdu dan al-maqsad bermakna
sama, iaitu; asal, tujuan sesuatu, jalan yang lurus (istiqomah), adil,
tengah-tengah dan tidak berlebihan. Sementara kata al-syariah bererti;
agama, manhaj, jalan, cara hidup. Sedangkan secara
terminologis, maqasid mempunyai erti menghendaki sesuatu dan
berpegangan teguh kepadanya (iradah al-syai wa al-azm alaihi). Dan
kata syariah bererti apa-apa yang ditentukan Allah SWT kepada hamba-Nya
melalui perantara nabi-Nya.
Sementara
itu apabila kita membincang maqasid al-syari’ah sebagai salah satu
disiplin ilmu tertentu, maka akan kita dapati pelbagai definisi yang berbeda
satu sama lain, meskipun kesemuanya bermula dari titik tolak yang hampir sama.
Satu yang harus diperhatikan mengenai pendefinisian terma maqasid ini, iaitu
jarang sekali para ulama terdahulu yang memberikan definisi ilmu maqasid secara
terang dan jelas yang mencakup semua unsur yang terkandung didalamnya. Tidak
juga al-Ghazali[1],
pun juga Imam al-Syathibi yang disepakati oleh semua kalangan sebagai polupor
ilmu ini sama sekali tidak menyentuh mengenai definisi maqasid al-syari’ah.
Untuk itu kebanyakan definisi maqashid al-sayari’ah yang kita dapati
sekarang ini, lebih banyak dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer, seperti
Thahir bin Asyur yang membagi maqasid menjadi dua
bagian; ‘am dan khas. Untuk yang pertama ia mengertikannya
sebagai berikut “hikmah, dan rahsia serta tujuan diturunkannya syariat secara
umum dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu (seperti sholat,
puasa, dan sebagainya)[2]”.
Sementara itu untuk yang kedua ia memaknainya sebagai “metod tertentu yang
dikehendaki oleh syari’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia dalam
beberapa bidang tertentu (seperti untuk mesejahterakan keturunan dan menjaga
hati manusia dengan disyariatkannya nikah, menjaga mudharat yang berkelanjutan
dengan diberikan pilihan untuk cerai, dsb)[3]”.
‘Allal al-Fasi salah satu ulama maqasid kontemporer memberikan definisinya
sebagai berikut “tujuan dari syariat, dan rahsia-rahsia diberlakukannya syariat
yang mencakup keseluruhan hasil hukumnya[4]”.
Sementara itu Ahmad Raisuni memaknainya sebagai “ tujuan-tujuan diturunkannya
syariat untuk merealisasikan kemaslahatan seorang hamba[5]”
Menurut
'Allal Al-Fasiy, maqasid al syari’ah adalah : Tujuan yang dikehendaki syara'
dan rahsia-rahsia yang ditetapkan oleh Syâri' (Allah) 8 pada setiap hukum.
Adapun inti dari maqasid al syari’ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat, atau dengan
kata lain adalah untuk mencapai kemaslahatan, karena tujuan penetapan hukum
dalam Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’
Dalam
kitabnya Maqasid Al-Syariah Al-Islamiyah, Ibnu ‘Asyur menyatakan bahwa maqasid
al syariah adalah makna-makna dan hikmah hikmah yang dicatatkan atau diperlihatkan
oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syari’at-Nya, juga masuk dalam
wilayah ini sifat-sifat syari’ah atau tujuan umumnya.
Pokok
dari maqasid syari'ah adalah untuk mencapai kemaslahatan umat yang
sebesar-besarnya, kerana tujuan penetapan hukum dalam Islam adalah untuk
menciptakan kemaslahatan dalam rangka memelihara tujuan tujuan syara'.
Adapun
tujuan syara' yang harus dipelihara itu adalah 1) menjaga agama, 2) menjaga
jiwa, 3) menjaga akal, 4) menjaga keturunan dan 5) menjaga harta2.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa seseorang mukallaf akan memperolehi
kemashlahatan jika ia mempunyai kemampuan untuk menjaga lima prinsip di atas,
dan sebaliknya ia akan mendapatkan kemudharatan atau mafsadah jika ia tidak menjaga
lima hal tersebut.
Untuk
mewujudkan kemashlahatan itu, menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi3 ada lima
kriteria yang harus dipenuhi, iaitu: Pertama, mengutamkan tujuan-tujuan syara',
Kedua, tidak bertentangan dengan Al- Qur'an, Ketiga, tidak bertentangan dengan
Al-Sunnah, Keempat, tidak bertentangan dengan prinsip qiyas, karena qiyas
merupakan salah satu cara
dalam
menggali hukum yang tujuannya adalah untuk memberikan kemashlahatan bagi
mukallaf. Dan Kelima, memperhatikan kemashlahatan lebih besar yang dapat
dicapai.
3.
SEJARAH PERKEMBANGAN MAQASID AL SYARI’AH
Maqasid
al syariah sebagai sebuah kajian dalam ilmu keislaman sebenarnya sudah ada
sejak nash Al Qur’an diturunkan dan hadis disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Kerana
maqasid al syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu
menyertainya. Seperti yang dijelaskan dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan
lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariat-Nya tidak lain adalah untuk
kemaslahatan makhluk-Nya.
Menurut
Raisuni1, maqasid al syariah telah dikembangkan oleh para mujtahid sebelum
Al-Syatibi dan bahkan dikembangkan dan disempurnakan juga oleh para pemikiran
kontemporer zaman ini. Kata al-maqasid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama
kali digunakan oleh Al-Turmudzi Al- Hakim, yang pertama kali menyuarakan maqasid
al syariah melalui buku bukunya, Al-Shalat wa Maqashiduhu, Al-Hajj wa Asraruh,
Al-‘Illah, ‘Ilal Al- Syari’ah, ‘Ilal Al-‘Ubudiyyah dan Al-Furuq. Setelah
Al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur Al-Maturidi (w. 333. H.) dengan karyanya
Ma’khad Al-Syara’ disusul Abu Bakar Al-Qaffal Al-Syasyi (w.365 H.) dengan
bukunya Ushul Al-Fiqh dan Mahasin Al- Syari’ah. Setelah Al-Qaffal muncul Abu
Bakar Al-Abhari (w.375 H.) dan Al- Baqillany (w. 403 H.) masing-masing dengan
karyanya, diantaranya adalah : Mas’alah Al-Jawab wa Al-Dalail wa Al-‘Illah dan
Al-Taqrib wa Al-Irsyad fi Tartib Thuruq Al-Ijtihad.
Selepas
Al-Baqillani muncullah Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Razi, Al-Amidi, Ibnu Hajib,
Al-Baidhawi, Al-Asnawi, Ibnu Subki, Ibnu Abd Al-Salam, Al-Qarafi, Al-Thufi,
Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Al-Qayyim. Pada perkembangan selanjutnya penelaahan
terhadap maqasid al syari’ah semakin mendapat perhatian di kalangan ulama usul.
Imam Al- Haramain Al-Juwaini, Abu Al-Ma'ali Abd Al-Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf
Al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ulama usul yang pertama kali meletakkan
dasar kajian tentang maqasid al syari’ah ini. Imam Al-Juwaini mengatakan orang-
orang yang tidak mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan
perintah dan larangan-Nya, maka ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau
melakukan istinbath hukum-hukum Syari'at. Pemikiran Imam Al-Juwaini ini selanjutnya
dikembangkan oleh Al- Ghazali.
Tapi
jika ditinjau karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqasid al syariah,
maka akan ditemui sebelum Al-Tirmidzi. Kerana Imam Malik (w. 179 H) dalam
Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kes penggunaan maqasid
pada masa sahabat. Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H)
dalam karyanya yang sangat populor Al-Risalah, dimana ia telah menyentuh pembahasan
mengenai ta’lil al-ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqasid
kulliyyah seperti hifzhu al-nafs dan hifzhu al-mal, yang merupakan tema-tema
ilmu maqasid. Setelah Imam Syafi’i, muncul Al-Hakim Al-Tirmidzi, diikuti Abu
Bakar Muhammad Al-Qaffal Al- Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu
Al-Syariah, yang mencuba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih
mudah difahami dan diterima oleh manusia. Kemudian daripada itu, Al-Syaikh
Al-Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu Al-Syarai’ wa Al-Ahkam, yang
mengumpulkan riwayat riwayat tentang ta’lilu al-ahkam dari ulama-ulama Syi’ah,
dan Al-‘Amiri (w.381H) dalam kitabnya Al-I’lam bi Manaqibi Al-Islam, meskipun
kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dharuriyyat
Al-Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu;(menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqasid al
syariah.
Setelah
itu datang Imam Al-Haramain (w. 478H) dalam kitabnya Al- Burhan yang menyentuh tentang dharuriyyat, tahsiniyat dan hajiyat,
yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqasid. Kemudian itu, Imam Al- Ghazali
(w. 505 H) yang membahas beberapa metod untuk mengetahui maqasid, dan
menawarkan cara untuk menjaga maqasid al syari’ah.
4 PEMIKIRAN
MAQASID SYARIAH PADA ZAMAN RASULULLAH SAW
Islam adalah agama terakhir yang diturunkan Allah di muka bumi ini. Turunnya islam yang menyempurnakan syariat-syariat sebelumnya sudah barang tentu mengandung tujuan murni dan maksud mulia yang mengarah pada manusia itu sendiri sebagai mukalaf (ojbek yang dikenai kewajiban syariat). Berkaitan dengan itu, ia mengganggapkan adanya hikmah yang mengiringi turunnya syariat tersebut. Sebab sulit untuk dikatakan bahwa syari’, dalam hal ini Allah melakukan sesuatu tanpa sebab dan hikmah tersirat[6]. Dari sini dapat kita katakan bahwa munculnya maqasid al-syari’ah al-islamiah telah termasuk bersamaan dengan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Saw. Dan perkembangani maqasid al-syari’ah ini terus berjalan beriringan dengan wahyu-wahyu yang turun pada zaman setelahnya. Hal ini dapat dilihat pada pertunjuk, anjuran maupun hasil hukum yang disyariatkan oleh al-Quran dan sunnah Nabi Saw, baik secara sedar maupun tidak, pasti mengandung semacam hikmah agung demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagai contoh, syara’memerintahkan manusia untuk tidak mencampuri isterinya dalam keadaan haid demi menjaga kesihatan kerana secara perubatan, darah haid banyak mengandung kuman yang berbahaya. Hikmah disyariatkannya nikah sebagai jalan untuk merealisasikan ketentraman manusia dan kesejahteraan keturunan, dan tujuan diperintahkannya berjihad fi sabilillah untuk menjaga keamanan masyarakat dan mempertahankan diri daripada gangguan asing.
Nabi
Muhammad Saw, sebagai manifestasi tunggal wakil Allah dimuka bumi, secara bijak
tidak pernah memberikan perintah atau anjuran kecuali dengan terlebih dahulu
mempertimbangkan psikologi umat dan
suasana sosio budaya mereka. Kebijaksanaan Nabi Saw ini dapat kita temukan pada
sabda Nabi seperti “Sesungguhnya agama ini mudah”, “Allah menghendaki kemudahan
bagimu” “Kalaulah tidak mempersulit umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka
untuk bersiwak sebelum sholat”, dan masih banyak lagi hadis-hadis yang
menunjukkan adanya pertimbangan kemaslahatan umum dalam menetapkan sebuah
hukum. Kebijaksanaan Nabi Saw yang seperti ini, kemudian diteruskan oleh para
sahabat dan generasi-generasi selepasnya. Karakteristik unik syariat islam
dalam merumuskan rancang bangun hukum dengan disertai pertimbangan kemaslahatan
umum, sebab turunnya wahyu (tadarruj nuzuli), konsep mencari kemaslahatan dan
mencegah kemudharatan (jalb al-masalih wa sad ad-dzarai’) perlahan mulai
dikembangakan oleh para ulama menjadi suatu konsepsi utuh yang pelan-pelan
menjelma menjadi sebuah teori maqasid al-syariah.
5. PEMIKIRAN MAQASIQ AL SYARI’AH DI ZAMAN
SAHABAT.
Sudah
barang tentu perjalanan maqasid al-syari’ah menjadi suatu disiplin
ilmu yang terpisah secara sendiri tidaklah terjadi walaupun seketika. Tercatat
mulai generasi sahabat, perhatian akan maksud dan tujuan dari syariat mulai
dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman ketika mereka hidup. Kerana
syariat adalah sesuatu yang hidup (kain hayy) yang boleh menyesuaikan diri
dimana peradaban itu berkembang. Tuntutan untuk mengembangkan syariat tanpa
melepaskan diri dari tujuan utama ‘memaksa’ mereka untuk melakukan berbagai
inovasi kreatif dalam merumuskan pembangunan suatu hasil hukum. Pemilihan Abu
Bakar sebagai khalifah pertama untuk menjaga persatuan dan keutuhan umat,
pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf di masa Ustman, ditiadakannya hukuman
potong tangan oleh Umar dimasa kemeseletan ekonomi, adalah beberapa contoh
bentuk pemakaian jitu para sahabat dalam mengembangkan syariat, dengan
mengembangkannya sesuai masa dimana mereka hidup, dengan tanpa mengabaikan
hikmah luhur turunnya syariat itu sendiri.
Para
sahabat merupakan manusia yang paling memahami tentang maqasid syariah,
matlamat agama, objektif al-Quran dan al-Sunnah, kerana mereka mendengar
al-Quran secara langsung daripada Rasulullah r dan mengamalkan ajaran Islam
berdasarkan petunjuk Rasulullah s.a.w. Apabila mereka menghadapi sesuatu
persoalan setelah kematian Rasulullah s.a.w, mereka akan mencari hukumnya di
dalam al-Quran. Apabila didapati, mereka terus melaksanakannya. Jika tiada
mereka akan mencari dalam sunnah Rasulullah s.a.w, mereka akan bertanya-tanya
siapakah yang menghafaz sebarang hadith atau hukum daripada Rasulullah s.a.w
berkaitan persoalan ini. Jika didapati, mereka akan berpegang kepada hukum
tersebut. Jika tiada, mereka akan berijtihad berpandukan kepada al-Kitab serta
al-Sunnah dan pemahaman mereka terhadap kaedah-kaedah umum, rahsia dan matlamat
syariat yang mereka fahami daripada keduanya.
Sebagai contoh, para sahabat telah bersepakat untuk membuat salinan rasmi al-Quran bagi menjaga agama, mereka juga bersepakat untuk menghukum qisas sekumpulan pembunuh yang membunuh seseorang yang tidak berdosa. Umar al-Faruq r.a. telah menghukum Nasr bin Hajjaj dengan membuang daerah kerana ketampanan beliau ke Iraq sehingga mempesonakan wanita-wanita di Madinah bagi menjaga keturunan dan maruah. Selain itu, Umar r.a. telah menyekat pemberian zakat terhadap golongan muallaf.[13] Umar t berkata:
إن الله أعز الإسلام وليس اليوم مؤلفة
“Sesungguhnya Allah telah memuliakan umat Islam, dan pada hari ini, tiada lagi golongan muallaf.” [14]
Sa`id bin Musaiyyib rhm.a. mengharuskan kawalan harga dilakukan jika ia mendatangkan kebaikan kepada masyarakat Islam. Walaupun terdapat riwayat yang menyatakan Sahabat r.a. telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w: “Ya Rasulullah, harga barang telah naik, maka tetapkanlah harga bagi kami.” Sabda Rasulullah s.a.w, “Allahlah yang menetapkan rezeki, yang menyekat dan meluaskan rezeki. Sesungguhnya aku berharap untuk berjumpa dengan Allah Taala tanpa menzalimi seseorang terhadap darah dan hartanya.” [15]
Daripada contoh-contoh yang telah diberikan, menunjukkan bahawa maqasid syariah adalah suatu perkara yang sangat penting yang perlu diberi perhatian. Para Salaf al-Soleh memberikan contoh yang terbaik dalam aspek memahami maqasid syariah dan pelaksanaannya.
Sebagai contoh, para sahabat telah bersepakat untuk membuat salinan rasmi al-Quran bagi menjaga agama, mereka juga bersepakat untuk menghukum qisas sekumpulan pembunuh yang membunuh seseorang yang tidak berdosa. Umar al-Faruq r.a. telah menghukum Nasr bin Hajjaj dengan membuang daerah kerana ketampanan beliau ke Iraq sehingga mempesonakan wanita-wanita di Madinah bagi menjaga keturunan dan maruah. Selain itu, Umar r.a. telah menyekat pemberian zakat terhadap golongan muallaf.[13] Umar t berkata:
إن الله أعز الإسلام وليس اليوم مؤلفة
“Sesungguhnya Allah telah memuliakan umat Islam, dan pada hari ini, tiada lagi golongan muallaf.” [14]
Sa`id bin Musaiyyib rhm.a. mengharuskan kawalan harga dilakukan jika ia mendatangkan kebaikan kepada masyarakat Islam. Walaupun terdapat riwayat yang menyatakan Sahabat r.a. telah mengadu kepada Rasulullah s.a.w: “Ya Rasulullah, harga barang telah naik, maka tetapkanlah harga bagi kami.” Sabda Rasulullah s.a.w, “Allahlah yang menetapkan rezeki, yang menyekat dan meluaskan rezeki. Sesungguhnya aku berharap untuk berjumpa dengan Allah Taala tanpa menzalimi seseorang terhadap darah dan hartanya.” [15]
Daripada contoh-contoh yang telah diberikan, menunjukkan bahawa maqasid syariah adalah suatu perkara yang sangat penting yang perlu diberi perhatian. Para Salaf al-Soleh memberikan contoh yang terbaik dalam aspek memahami maqasid syariah dan pelaksanaannya.
6. PEMIKIRAN
MAQASID AL SYARAIH DI ZAMAN TABI’IN:
Sejalan
seirama dengan para sahabat, tabi’in sebagai generasi penerus tradisi sahabat
juga memasukkan unsur maqasid al-syariah sebagai salah satu
pertimbangan keputusan hukum. Di masa tabi’in dikenal adanya dua madrasah yang
berkembang pesat; Hijaz dengan madrasah syariahnya, dan madrasah Iraq
dengan madzhab ra’yunya. Pada madrasah Hijaz, meskipun kecenderungan
tekstual lebih mendominasi, akan tetapi aplikasi penggunaan maqasid
al-syariah tidak dapat diabaikan begitu saja. Pengaruh besar ijtihad para
sahabat seperti Umar bin Khattab, Abu Hurairah dan pandangan peribadi Siti
‘Aisyah yang melandaskan pandangannya kepada asas masalih al-mursalah,
jalb al-masalih, dar’ al-mafasid, ikut terserap dan turut mewarnai alur
berpikir para mujtahid generasi sesudahnya[7].
Sementara untuk madrasah Iraq, meskipun terkenal dengan madzhab ra’yunya
akan tetapi ini tidak bererti mengenepikan teks-teks keagamaan begitu saja.
Penggunaan ra’yu (akal/ijtihad) tetaplah harus berlandaskan pada asas
sahih dan pendapat para salaf al-salih serta mengutamakan
kemaslahatan dan urf hasanah (tradisi
yang baik). Sementara madrasah Hijaz banyak menggunakan ijtihad Umar dan Siti
Aisyah maka madrasah Iraq lebih banyak memakai ijtihad Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Mas’ud[8],
dan Ibrahim an-Nakha’i[9] yang
lebih mempertimbangkan akal dan kemaslahatan bersama ketika menemukan masalah yang
tidak disinggung oleh teks.
Setelah
era tabi’in, satu persatu ulama dan cendekiawan mulai mengupas lebih dalam pelbagai
sisi lain dari konsep ini. Setelah pada zaman sebelumnya terma maqasid
al-syari’ah hanya dapat dikenali dari kecenderungan-kecenderungan rumusan
konsep penggalian hukum, maka pada fasa ini para ulama mulai memberikan ruang
khusus bagi maqasid al-syariah untuk menunjukkan keperluannya. Tercatat
at-Turmudzi al-Hakim (abad 3 H) adalah orang yang pertama kali menggunakan
kata maqasid dalam kitabnya al-Sholah wa maqashiduha yang
menguraikan tentang tujuan dan hikmah dari ibadah sholat. Kemudian diikuti oleh
karya-karya lainnya yang masih membahas seputar hikmah-hikmah tertentu dari
bermacam-macam ibadah, seperti al-Hajj wa asraruhu, al-‘Illah, ‘Ilal
al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan al-Furuq. Setelah al-Turmudzi, Abu
Mansur al-Maturidy (w. 333 H) dengan karyanya Ma’khad
al-Syara’ diikuti Abu Bakar
al-Qaffal al-Syasyi (w.365 H) dengan Usul al-Fiqh dan Mahasin
al-Syari’ah, Abu Bakar al-Abhari (w.375 H) dan al-Baqilany (w. 403 H)
masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail
wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad.
Se;lepas, al-Baqillany muncullah Imam Haramain al-Juwaeny (w.478 H) dengan al-Burhan,
al-Waraqaat, al-Ghiyatsi, Mughitsul Khalq,
7.
SYARAT PEMAHAMAN MAQASID AL SYARIAT DI ZAMAN PEMIKIRAN AWAL :
Sekurang-kurangnya
ada tiga syarat yang diperlukan untuk memahami Maqasid al-Syari’ah. Syarat-syarat
itu adalah:
- Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab
Menurut
istilah Ulama Usul fiqh, bahasa Arab itu kepada lafaz am dan lafaz khas. Lafaz ‘am
adalah “Suatu lafaz yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada suatu
makna yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas pada satu jumlah
tertentu”.22
Lafaz Insan umpamanya, mencakup semua yang namanya manusia.
Dilihat
dari segi penerapan lafaz ‘am, ulama Usul Fiqh membaginya kepada tiga
tingkatan, iaitu:
Lafalz
‘am yang dikehendaki darinya adalah ‘am.23
Ertinya, lafazz ‘am dan maksudnya juga ‘am. Lafalz ‘am dalam bentuk ini tidak
didapatkan indikasi untuk memberlakukan takshis padanya.
Lafalz
‘am yang mengandung pernyataan Umum tetapi yang di kehendaki darinya adalah
Khusus.24
‘am dalam bentuk ini terdapat indikasi yang memalingkan erti ‘amnya.
Lafaz
‘am yang mutlak, ertinya tidak diperdapatkan tanda-tanda untuk dikehendaki
kepada umum ataupun kepada khusus.25
Imam
al-Syafi’i berpendapat bahwa dilalah lafaz ‘am kepada satuan-satuannya adalah
Zanni.26
Menurutnya dalam lafaz itu mencakup semua satuan-satuan yang tidak jelas
sasarannya. Satuan mana yang dikehendaki oleh Nash tidak dapat diketahui
sebelum ada indikasi dari Nash lain. Ayat-ayat Alqur’an dan sunnah yang bentuk
‘am, dilalahnya adalah Zanni. Atas dasar inilah Imam al- Syafi’i membolehkan
takshis ‘am Alqur’an dengan hadist Ahad.27alasannya
‘am Alqur’an dilalahnya Zanni, sama dengan dilalah hadist ahad. Dilihat dari
segi dilalah, antara ‘am Alqur’an dan hadist ahad adalah sejajar.28
Menurut
Imam al-Syafi’i, seperti diungkapkan oleh oleh Zaqiyuddin Sya’ban, bahwa satuan
yang tinggal setelah di taksis dilalahnya tetap zanni. Demikian juga terhadap
‘am yang tidak menerima taksis, dilalah satuan-satuanya tetap zanni. Dengan
demikian Imam Syafi’i membolehkan takshis Alqur’an dengan Alqur’an, hadis
dengan Hadist, dan bahkan ‘am Alqur’an boleh ditakshiskan dengan Hadis ahad.29
Apabila
terjadi pertentangan antara makna khas dan ‘am, seperti Nash ‘am menetapkan
hukum haram sesuatu dan Nash khas menetapkan tidak haram hukumnya, menurut Imam
al-Syafi’i bila terjadi seperti itu harus diamalkan sesuai dengan ketentuan
masing-masing, sebab Nash ‘am dilalahnya Zanni, sedangkan Nash khas dilalahnya
qat’i, keduanya tidak boleh dipertentangkan . maka Nash ‘am yang zanni belum
boleh diamalkan sebelum dikaji Nash khas yang qat’i. dan yang kedua itulah pada
akhirnya yang diamalkan. Kecuali kalau ‘am itu tidak ada pentakshisnya, maka
saat itu diperlukan penalaran.30
Masih
banyak lagi istilah-istilah khusus selain lafalz ‘am yang berkaitan dengan
pembahasan lafalz dan dilalah lafalz yang harus diketahui Oleh seorang yang
ingin memahami Maslahah (Maqasid al- Syari’ah) yang terdapat dalam Alqur’an dan
hadis, diantaranya lafaz Khas, Musytarak, Haqiqat, Majaz, Dilalah lafalz, dan
Nasakh.
2.
Memiliki pengetahuan tentang Sunnah
Imam
al-Syafi’i menempatkan Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua dalam
menggali maksud tuhan yang terkandung dalam Alqur’an, penempatan hadis sebagai
sumber hukum yang kedua setelah Alqur’an disebut juga sebagai Kerangka berfikir
Imam al-Syafi’I, hal ini diungkapkan dalam kitab Al-Risalah:
وجهة
العلم الخبر في الكتاب او السنة او الاجماع او القياس
Artinya:
“Dan jalan mendapatkan Ilmu adalah pernyataan dalam kitab (Alqur’an), atau
sunnah atau Ijma’ atau Qiyas”.31
Selanjutnya
al-Syafi’i mengatakan apapun hukum yang terdapat dalam hadis itu wajib diikuti,
sama halnya dengan Alqur’an, sebagaimana pernyataan beliau:
و
من قبل عن رسول الله فمن الله قبل لما افترض الله
من طاعته
Artinya:
“siapa saja menerima ketentuan hokum dari Rulullah, bererti pada hakikatnya dia
menerima dari Allah, karena Allah mewajibkan untuk menta’ati Rasulullah.”32
Sejalan
dengan pandangan nya tentang kokohnya kedudukan sunnah, al-Syafi’i menegaskan
bahwa bila telah ada hadis yang sahih dari rRasulullah Saw, maka dalil-dalil
berupa perkataan orang lain tidak di perlukan lagi.33
Jadi, bila seseorang telah menemukan hadis sahih, tidak ada pilihan lain
kecuali menerima dan mengikuti. Suatu hukum yang telah ditetapkan oleh sunnah
harus diterima apa adanya, dan tidak boleh di persoalkan lagi, al-Syafi’i
menegaskan, mempertanyakan mengapa dan bagaimana terhadap sunnah adalah sesuatu
yang keliru.34
Hal ini dikemukakannya dengan alasan rasional. Jika hukum yang ditetapkan oleh
sunnah masih dipertanyakan, dengan penggunaan qiyas dan rasio, maka tidak akan
pernah ada kata putus yang dapat dijadikan sebagai patokan, dan ini akan
meruntuhkan kedudukan qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum.35
Sikap
ta’at dan kerendahan hati al-Syafi’i terhadap hadis dilihat dalam ungkapannya:
اذا وجدتم كتابي خلاف سنة رسول الله فقولوا بسنة رسول الله ودعوا قولي
Ertinya:
Bila kalian mendapatkan dalam kitab saya sesuatu yang menyalahi dengan Sunnah
Rasulullah Saw, maka ambillah sunnah rasulullah dan tinggalkan perkataan saya”.
Walaupun
sunnah sebagai sumber hukum kedua, tetapi kenyataannya sunnah menempati
kedudukan yang sangat penting dalam memahami Maqasid al- Syari’ah, karena
sebagian isi Alqur’an yang belum jelas harus dijelaskan dan ditafsirkan oleh
Sunnah. Pada generasi sebelum imam al-Syafi’i, kecendrungan mendasarkan setiap
keputusan kepada sunnah telah melahirkan banyak hadis, tetapi ketentuan yang
terdapat antara suatu hadis dengan hadis yang lain sering ditemukan saling
bertentangan. Kemudian Imum al-Syafi’i tampil dengan merumuskan suatu kaedah
baru untuk menyelesaikan dua hadis yang saling bertentangan. Jalan yang
ditempuhnya, pertama diusahakan dengan cara mengkompromikan keduanya, sebab
boleh jadi satu hadts mengandung aturan khusus dan hadis yang lain memuat
aturan umum. Jika penggabungan tidak mungkin dilakukan, akan dilihat sanad dan
perawinya. Sunnah yang dipandang lebih kuat sanad atau perawinya lebih
didahulukan dan diutamakan.36
Akan tetapi jika sunnah tersebut sama kedudukannya, dilihat mana yang datang
lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Sunnah yang datang terdahulu di
Nasakhkan oleh sunnah yang datang kemudian.37
Jika keduanya tidak ada tanda-tanda mana yang terdahulu mana yang terakhir,
maka harus diutamakan sunnah yang lebih menepati dan sesuai dengan Al-qur’an
dan sunnah yang ada pada masalah yang lain.38
Dengan
demikian Ilmu tentang Sunnah baik teksnya maupun Asbab al-Wurudnya wajib diketahui
bagi orang- yang ingin memahamu Maqasid al-Syari’ah. Kerana Sunnah disamping
sebagai Sumber hukum Islam yang kedua juga boleh berfungsi memperkukuh dan
memperjelas ketentuan hukum yang ditetapkan Alqur’an, dan menetapkan hukum yang
tidak di tetapkan dalam Alqur’an.
3.
Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat.
Majorati
ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terkandung dalam riwayat – riwayat
asbab al-Nuzul merupakan satu hal yang siknifikan untuk memahami pertumjuk
Al-qur’an,
Menurut
al-Syafi’i, pertunjuk ayat ini tidak bersifat umum (Hasar) untuk mengatasi
kemungkinan adanya keraguan dalam memahami ayat diatas, al-Syfi’i menggunakan
as-bab al-Nuzul. Ayat ini menurutnya, diturunkan sehubungan dengan orang-orang
kafir yang tidak mau memakan sesuatu, kecuali apa yang telah mereka halalkan
sendiri. Mereka mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan
menghalalkan apa yang telah diharamkan- Nya merupakan kebiasaan orang-orang
kafir, terutama orang-orang yahudi, maka turunlah ayat.
8.
PENUTUP:
Pemikiran
awal maqasid al syari’ah telah bermula sejak awal penurunan wahyu, kemudian
telah berkembang ke generasi sahabat dan seterusnya kepada generasi tabi’im.
Sehingga hari ini ianya diguna-pakai secara meluas oleh ulama komterpori. Ianya
semakin dengan suasana semasa yang ijtihad yang baru dalam isu-isu semasa hari.
Dengan inovasi dan kreativiti ulama yang hebat telah menjadikan maqasid al
syari’ah semakin tidak boleh diabaikan begitu saja.
No comments:
Post a Comment