Khusyu’ dalam Shalat
Mei 11, 2009 oleh Wira Mandiri Bachrun
Oleh: Fadhilatul ‘Allamah DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah
Segala puji khusus bagi Allah, yang telah memerintahkan untuk beristi’anah (meminta tolong kepada-Nya) dengan kesabaran dan shalat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Dia memberitakan bahwa hal itu merupakan suatu yang berat kecuali bagi para hamba-Nya yang khusyu’. Allah juga menyifati kaum mukminin dengan khusyu’ dalam shalat mereka. Allah menjadikannya sebagai sifat-sifat mereka. Allah berfirman:
﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun: 1-2]
Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, sang juru dakwah kepada keridhaan-Nya, shalat Allah atasnya dan atas keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik. Amma ba’d:
Wahai umat manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah. Ketahuilah bahwa khusyu’ dalam shalat merupakan ruh ibadah shalat tersebut sekaligus maksud utama ditegakkannya ibadah shalat tersebut. Allah telah menyifati para rasul-Nya dan para hamba-Nya yang shalihin dengan sifat tersebut (khusyu’). Allah berfirman:
﴿ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ ﴾
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [1], dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya`: 90]
Allah juga berfirman:
﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun: 1-2]
Allah juga menyifati para ‘ulama dengan sifat khasy-yah (takut) kepada-Nya dan khusyu’ tatkala mendengar Firman-Nya. Allah berfirman:
﴿ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ﴾
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” [Fathir: 28]
Allah juga berfirman:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra`: 107-109]
Asal makna khusyu’ adalah kelembutan dan ketenangan hati, serta ketundukannya. Apabila hati telah khusyu’ maka akan diikuti oleh khusyu’ anggota badan. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam:
« أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ »
“Ketahuilah, bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baik pulalah seluruh jasad, namun apabila ia jelek maka jelek pulalah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa segumpal darah tersebut adalah hati.” [Muttafaqun ‘alaihi]
Apabila seseorang membuat-buat khusyu’ pada anggota badannya tanpa diiringi kekhusyu’an hati, maka yang demikian adalah khusyu’ nifaq. ‘Umar Radhiyallah ‘anhu pernah melihat seorang pemuda menundukkan kepalanya, maka ‘Umar pun berkata, “Wahai kamu, angkat kepalamu, karena khusyu’ itu letaknya bukan di leher. Sesungguhnya khusyu’ itu tidak lebih dari apa yang terdapat dalam hati.”
Khusyu’ yang terdapat dalam hati tidak lain dihasilkan dari ma’rifah (pengenal dan ilmu) tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan ma’rifah tentang keagungan-Nya. Barangsiapa yang semakin mengenal dan berilmu tentang Allah, maka dia makin khusyu’ terhadap-Nya. Di antara sebab terbesar tercapainya khusyu’ adalah mentadabburi Kalamullah. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
﴿ لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ ﴾
“Kalau seandainya Kami turunkan Al-Qur`an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan itlah perumpamaan-perumpamaan kami buat untuk manusia agar mereka berfikir.” [Al-Hasyr: 21]
Allah telah menyifati para ‘ulama dari kalangan Ahlul Kitab dengan sifat khusyu’ ketika mendengar Al-Qur`an ini. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولا. وَيَخِرُّونَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang diberi ilmu sebelumnya apabila Al-Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas wajah mereka sambil bersujud, seraya mereka berkata: “Maha Suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” [Al-Isra`: 107-109]
Allah telah mencela orang yang tidak khusyu’ ketika mendengar Firman-Nya. Allah berfirman:
﴿ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ ﴾
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyu’ hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Hadid: 16]
Bahkan Allah mengancam pemilik hati yang keras dengan firman-Nya:
﴿ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ ﴾
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah mengeras hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. [Az-Zumar: 22]
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berlindung kepada Allah dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah:
Bahwa Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam dulu sering berdo’a:
« اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا »
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
Allah telah mensyari’atkan berbagai jenis ibadah yang menampakkan kekhusyu’an hati dan badan. Di antaranya yang terbesar adalah ibadah shalat. Dan Allah telah memuji orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya dengan firman-Nya:
﴿ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ﴾
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, [Al-Mukminun: 1-2]
Mujahid berkata: “Dulu para ‘ulama, apabila salah seorang dari mereka berdiri dalam shalatnya, maka mereka taku kepada Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla untuk melirikkan pandangannya, atau menoleh, atau memainkan pasir, atau melakukan sesuatu, atau mengajak berbicara dirinya tentang urusan dunia kecuali jika lupa, selama ia berada dalam shalatnya.”
Dalam Shahih Muslim dari shahabat ‘Utsman Radhiyallah ‘anhu dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
« مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ »
“Tidaklah seorang muslim yang telah tiba kepadanya waktu shalat wajib, kemudian dia membaikkan wudhu`nya, khusyu’nya, dan ruku’nya kecuali itu menjadi kaffarah (penebus) atas dosa yang telah lalu, selama tidak dilakukan dosa besar. dan itu berlaku sepanjang tahun.”
Wahai para hamba,
Untuk tercapainya khusyu’ ada sebab-sebabnya,
di antara sebab yang terbesar: Seorang hamba mengingat akan keagungan Allah ‘Azza wa Jalla yang dia sedang berdiri di hadapan-Nya, dan bahwasanya Dia dekat dengannya, melihat, dan mendengarnya, serta mengetahui segala apa yang terbesit dalam hatinya, sehingga mendorongnya untuk malu kepada-Nya ‘Azza wa Jalla.
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat: meletakkan tangan yang satu di atas tangan yang lain (bersedekap), yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada. Makna sikap yang demikian adalah menunjukkan pengrendahan diri dan berkeping-kepingnya hati di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Imam Ahmad rahimahullah telah ditanya tentang maksud dari sikap (bersedekap) tersebut, maka beliau menjawab: “Itu merupakan bentuk pengrendahan diri di hadapan Dzat Yang Maha Perkasa.”
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat: menghentikan segala gerakan dan segala yang tidak bermanfaat, serta senantiasa diam. Oleh karena itu, ketika seorang ‘ulama salaf melihat seorang pria bermain-main dengan tangannya dalam shalatnya, maka ‘ulama salaf tersebut berkata, “Kalau seandainya hati orang ini khusyu’, niscaya akan khusyu’ pula anggota badannya.” Peristiwa ini diriwayatkan juga secara marfu’ sampai kepada Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagian orang apabila dia berdiri menunaikan shalatnya, terkadang mereka masih bermain-main, menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, atau bermain-main dengan jenggot dan hidungnya, sampai-sampai tingkah lakunya untuk mengganggu orang yang di sebelahnya. Ini menunjukkan tidak adanya khusyu’ dalam shalat.
Di antara sebab-sebab tercapainya khusyu’ dalam shalat: menghadirkan hati dalam shalat, dan tidak menyibukkan dengan berbagai kesibukan dan pekerjaan duniawi. Ia konsentrasi penuh menghadap kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan hatinya. Dan tidak menyibukkan dengan sesuatu selain shalat.
Telah ada larangan untuk menoleh dalam shalat. Dijelaskan oleh para ‘ulama, bahwa menoleh itu ada dua macam:
Pertama, berpalingnya hati dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yaitu hati berpaling kepada dunia dan berbagai kesibukkannya, dan sama sekali tidak konsentrasi menghadap Rabbnya.
Dalam Shahih Muslim, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda tentang keutamaan dan pahala wudhu’:
« … فَإِنْ هُوَ قَامَ فَصَلَّى فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَمَجَّدَهُ بِالَّذِى هُوَ لَهُ أَهْلٌ وَفَرَّغَ قَلْبَهُ للهِ إِلاَّ انْصَرَفَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »
“Jika kemudian dia berdiri menunaikan shalat, seraya memuji, menyanjung, dan memuliakan Allah dengan pujian yang sesuai bagi-Nya, dan hatinya konsentrasi penuh kepada Allah, maka ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti kondisinya pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya.”
Kedua, menoleh dengan pandangan ke kanan atau ke kiri. Yang dituntunkan dalam syari’at adalah membatasi pandangan hanya pada tempat sujudnya saja, karena itu merupakan di antara konsekuensi kekhusyu’an, yang dengannya terputuslah darinya segala pemandangan di sekitarnya yang bisa menyibukkannya.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari shahabat ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha: “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam dari menoleh/berpaling dalam shalat? Maka beliau menjawab:
« هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ أَحَدِكُمْ »
“Itu adalah curian, yang dicuri oleh syaithan dari shalat kalian.”
Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari shahabat Al-Harits Al-Asy’ari, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam: Bahwa Allah memerintahkan Nabi Yahya bin Zakariyya ‘alaihis salam untuk menegakkan shalat.
فَإِنَّ اللَّهَ يَنْصِبُ وَجْهَهُ لِوَجْهِ عَبْدِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ ، فَإِذَا صَلَّيْتُمْ فَلاَ تَلْتَفِتُوا
Sesungguhnya Allah menghadapkan wajah-Nya kepada wajah hamba-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Maka jika kalian sedang shalat jangalah berpaling/menoleh.”
Al-Imam Ahmad juga meriwayatkan dari shahabat Abu Dzarr Radhiyallah ‘anhu, dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Allah senantiasa menghadap kepada seorang hamba dalam shalat-Nya selama sang hamba tersebut tidak berpaling/menoleh. Jika sang hamba tersebut berpaling/menoleh, maka Allah pun akan berpaling darinya.”
Wahai para hamba Allah,
Sesungguh ibadah shalat, dalam semua gerakannya menunjukkan ketundukan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Seperti berdiri, ruku’, sujud, serta bacaan dzikir yang diucapkan dalam masing-masing gerakan tersebut. Allah berfirman:
﴿ وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ ﴾
“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” [Al-Baqarah: 238]
Allah berfirman:
﴿ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ ﴾
“Ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “ [Al-Baqarah: 43]
Karena ruku’ merupakan bentuk ketundukan kepada Allah dan menghinakan diri di hadapan-Nya dengan sikap badan. Sungguh orang-orang yang mutakabbir (sombong) menolak untuk sujud kepada Allah, maka Allah pun mengancam mereka dengan firman-Nya:
﴿ وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لا يَرْكَعُونَ. وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ ﴾
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ruku’lah kalian, niscaya mereka tidak mau ruku’. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” [Al-Mursalat: 48-49]
Di antaranya juga adalah sujud, yang itu merupakan gerakan terbesar yang tampak padanya kehinaan seorang hamba terhadap Rabb-nya ‘Azza wa Jalla. Yaitu ketika sang hamba menjadikan anggota badan yang paling utama dan paling mulia serta paling tinggi, menjadi paling rendah di hadapan Rabb-nya. Sang hamba meletakkan wajahnya ke tanah, diiringi dengan berkeping-keping hati, merendah, dan kekhusyu’an kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu balasan bagi seorang mukmin apabila ia melakukan hal tersebut, maka Allah mendekatkannya kepada-Nya. Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
« أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ »
“Sesungguh kondisi terdekat seorang hamba kepada Rabb-nya adalah ketika dia sedang sujud.”
Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya:
﴿ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ﴾
“dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Allah).” [Al-’Alaq: 19]
Iblis telah sombong dari sujud, maka ia menuai laknat dan kehinaan. Demikian kaum musyrikin dan munafiqin telah sombong dari sujud, maka Allah ‘Azza wa Jalla ancam mereka bahwa mereka akan Allah haramkan dari sujud kepada-Nya pada hari pertemuan dengan-Nya, karena mereka tidak mau sujud kepada-Nya di dunia. Allah Ta’ala berfirman:
﴿ يَوْمَ يُكْشَفُ عَنْ سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلا يَسْتَطِيعُونَ. خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ ﴾
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak mampu melakukannya, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) telah diajak untuk bersujud, dalam keadaan mereka sejahtera.” [Al-Qalam: 42-43]
Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallah ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
« يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ ، وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ فِى الدُّنْيَا رِئَاءً وَسُمْعَةً ، فَيَذْهَبُ لِيَسْجُدَ فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا »
“Rabb kita menyingkap betis-Nya, maka sujudlah kepada-Nya seluruh mukmin dan mukminah, namun tinggal orang-orang yang dulu sujud di dunia karena riya’ atau sum’ah. Dia berupaya hendak bersujud, namun ternyata punggungnya hanya satu tulang saja (sehigga tidak bisa digerakkan untuk sujud).”
Al-Imam Ibnu Katsir berkata: “Hadits diriwayatkan dalam dua kitab shahih (yakin Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dan kitab-kitab lainnya dari banyak jalur periwayatan dan berbagai macam lafazh, itu adalah hadits yang panjang dan terkenal.”
Di antara kesempurnaan kekhusyu’an seorang hamba dalam ruku’ dan sujudnya, bahwa apabila dia menghinakan diri dihadapan Rabbnya dengan ruku’ dan sujud, hendaknya dia menyifati Rabb-nya ketika itu dengan sifat Kemuliaan, Kebesaran, Keagungan, dan Ketinggian. Seakan-akan dia berkata: “Kehinaan dan kerendahan adalah sifatku, sementara Ketinggian, Keagungan, dan Kebesaran adalah sifat-Mu.” Oleh karena itu disyari’atkan kepada hamba dalam ruku’ untuk membaca:
( سبحان ربي العظيم )
“Maha Suci Rabbku yang Maha Agung”
Dan ketika sujud membaca:
( سبحان ربي الأعلى )
“Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi”
Wahai kaum muslimin,
Sesungguhnya merenungkan rahasia-rahasia dan faidah-faidah shalat adalah di antara yang bisa menjadikan seorang hamba mudah mengerjakannya dan bisa merasakan lezatnya. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَة
“Telah dijadikan kesejukan mataku dalam shalat.”
Allah telah berfirman:
﴿ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ ﴾
“Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’,” [Al-Baqarah: 45]
Allah juga berfirman:
﴿ وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ ﴾
“Minta tolonglah kalian (kepada Allah) dengan cara sabar dan shalat.” [Al-Baqarah: 45]
Allah juga berfirman:
﴿ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ﴾
“dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah-ibadah lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-’Ankabut: 45]
Namun tatkala seorang hamba lalai dari berbagai faidah dan rahasia shalat, maka shalat menjadi berat atasnya. Apabila dia masuk padanya, seakan-akan dia berada dalam penjara sampai ia selesai darinya. Oleh karena itu kebanyakan motivasi pendorongnya untuk masuk dalam shalat, hanyalah dalam rangka sebagai suatu rutinitas belaka, atau sekadar membagus-baguskan diri.
Maka bertaqwalah kalian wahai para hamba Allah dalam shalat-shalat kalian. Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang agama, bisa mencegah dari berbagai perbuatan keji dan dosa. Dan shalat merupakan wasiat terakhir Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam ketika beliau meninggalkan dunia ini, sekaligus amalan terakhir yang hilang dari agama. Maka tidak ada agama lagi setelah hilangnya shalat.
Diterjemahkan dari: http://www.sahab.net/home/index.php?threads_id=218
[1] Maksudnya: mengharap agar Allah mengabulkan doanya dan khawatir akan azab-Nya
Dicopy dari: http://www.assalafy.org/mahad/?p=324#more-324